Oleh : Raida Fitriani
Tangis Tania pecah saat jenazah Ibu sudah masuk ke liang lahat, satu persatu dimulai dari Bang Ata, Bang Tio, juga Bang Eta menaburkan tanah setelahnya. Aku menenangkan Tania, sebagai anak terakhir yang memang manja pada Ibu, dia masih tidak bisa menerima bahwa Ibu sudah selesai tugasnya sebagai manusia di bumi ini. Kami semua berduka, tidak ada satupun dari kami yang netranya tidak merah dan sembab, kecuali Ayah.
Sejak kemarin Ayah sibuk menerima tamu yang bertakziah, dari keluarga
besar beliau, Ibu, kerabat dan teman-teman mereka. Sesekali sayup kudengar
mereka cekikikan, entah mengenang masa lalu atau memang sedang membahas hal
yang lucu. Hanya saja menurutku bukan waktu yang tepat, Ibu meninggal, dan
kedatangan para tamu itu bukan untuk reuni. Sesekali Ayah juga menegur Tania
yang tidak bisa berhenti menangis di samping jenazah Ibu.
“Tidak usah berlebihan, ibumu memang sudah waktunya meninggal. Apa
jika kau menangis seperti itu tiba-tiba matanya terbuka seperti dalam
sinetron?”.
Aku menatap Ayah, meminta pengertiannya.
“Tami, bikinkan kopi buat teman-teman Ayah, jangan terlalu manis.
Bikinnya jangan dalam teko, satu-satu di cangkirnya. Buruan gih,”perintahnya.
Aku menarik napas, tidak ada sedikitpun semburat duka terlihat di wajahnya. Apa
kehilangan Ibu sebagai teman hidupnya hal biasa saja baginya?
**
“Tami, besok Ayah mau makan gulai ikan patin, ya,” pintanya setelah
kami baru selesai makan malam. Ketiga abangku saling melirik, juga padaku.
“Ke pasarnya pagi-pagi, kalau kesiangan sedikit, stok ikan murah dan
segarnya cepat habis. Eta, besok antar Tami ya, kau akan belum cepat pulang,
kan?” perintahnya lagi pada Bang Eta.
Ketiga abangku memang merantau, Bang Ata sebagai yang tertua adalah
seorang guru di sekolah swasta yang bonafit. Hanya dia yang sudah menikah,
istrinya, Mbak Ika tidak bisa ikut datang karena belum berani membawa bayi
mereka yang baru tiga bulan bepergian
jauh.
Ayah beranjak masuk ke kamar. Sedari tadi kami berharap Ayah akan
bicara sedikit tentang Ibu, tentang perasaannya atau memberikan kami wejangan
setelah Ibu tidak ada. Tapi tidak, Ayah hanya sibuk makan, hanya bertanya kapan
ketiga abangku pulang, dan yang terakhir meminta dibuatkan menu untuk besok.
Hanya aku dan Tania yang masih tinggal disini, bersama Ayah dan Ibu. Tania masih
kuliah semester awal, dan aku memutuskan membuka usaha bimbel, menolak tawaran
kerja kantoran yang bagus, karena tidak mau jauh dari orangtua. Jika aku juga
merantau, siapa yang akan menjaga Ayah dan Ibu? Jelas aku tidak bisa
mengandalkan Tania, untuk makan saja dia tidak bisa menyiapkannya sendiri.
Selalu Ibu yang melakukannya.
“Ayah itu memang tidak peka perasaannya. Ibu meninggal dan tidak ada
kata-kata sama sekali untuk menguatkan kita. Waktu Ibu masih hidup, Ayah juga
sering cuek, sampai Ibu mengeluh sakit di dadanya, Ayah hanya bilang jangan
berlebihan. Tapi apa? Ibu ternyata kena penyakit jantung.” Tania menahan
emosinya.
Aku meresapi kata-kata Tania barusan, itu memang benar. Entah
bagaimana sebenarnya kehidupan rumah tangga Ayah dan Ibu, apakah mereka saling
mencintai, atau hanya saling peduli? Kata Ibu, dulu mereka dijodohkan, tradisi
yang tidak bisa mereka hindari. Ayah itu orangnya kaku, lebih sering mengomel
kalau tidak bisa mengekspresikan sesuatu. Kadang itu juga membuat Ibu kesal,
tapi beliau menahan diri. Bagaimana pun, kehadiran kami semua adalah pengikat
dalam pernikahan mereka. Tidak mungkin
tidak ada cinta sama sekali.
**
Pagi-pagi aku sudah belanja ke pasar, memilih beberapa ikan, termasuk
yang ingin dimakan oleh Ayah. Sayuran dan bumbu dapur. Tidak lama, aku terbiasa
berbelanja cepat, seperti Ibu yang selalu menyiapkan catatan kecil lebih dulu.
Bang Eta menungguku di parkiran.
“Kau itu memang Ibu versi muda, belum sampai setengah jam udah kelar
aja. Coba kalau Tania yang disuruh Ayah, sampai matahari terbenam baru bisa
pulang,” kelakarnya. Kami tertawa membayangkan Tania seperti itu, dia memang
anak bungsu sekaligus anak mama. Disuruh mencuci piring saja, dia malah main
gelembung. Kata Ibu, lebih cepat menyelesaikan pekerjaan rumah daripada harus
menyuruh sambil mengajari si bungsu.
“Bang, menurut Abang, apa Ayah bersedih karena kehilangan Ibu?”
tiba-tiba aku bertanya. Motor Bang Eta melaju pelan, ini bukan jalan kota
besar, jadi tidak banyak kendaraan lain.
“Kau tahu sendiri bagaimana Ayah, dia kadang susah ditebak. Mungkin
saja Ayah sedang menyembunyikan dukanya. Dia tidak mau kita cemas,” jawabnya.
“Bagaimana jika suatu hari Ayah mau menikah lagi?” lagi-lagi
pertanyaan konyol terbersit.
“Menurutmu itu salah? Bukankah tidak mengapa Ayah memiliki teman hidup
yang baru. Bisa menemaninya di hari tua. Kau dan Tania nanti menikah, ikut
suami. Sekalipun nanti Ayah ikut salah satu dari kita, pasti dia juga tidak
akan nyaman melakukan segala hal.”
Aku diam, entah setuju atau tidak dengan pendapat Bang Eta. Tapi aku
juga bodoh, Ibu baru dimakamkan kemarin, tanah kuburnya masih basah. Bagaimana
aku bisa berprasangka yang tidak-tidak pada Ayah?
Sampai di rumah aku langsung menuju dapur, untungnya aku libur jadwal
bimbel selama tiga hari. Aku memang tidak piawai dan jago masak seperti Ibu,
tapi aku sering melihat dan menyimpan caranya mengolah makanan dalam memoriku.
Gulai ikan patin ini mudah, Ibu terbiasa menyimpan stok bumbu, dari sop, kari,
gulai, sambal bawang dan lainnya. Biar tidak repot dan tinggal masak. Ibu tidak
pernah memakai bumbu yang dibeli dari pasar, rasanya berbeda. Saat ikan patin
sudah dibersihkan dan dipotong-potong, masukkan ke wajan dan tinggal diberi
bumbu gulai, masukkan air sedikit, tunggu mendidih. Kuberi sedikit garam dan
gula. Tidak ada penyedap rasa, Ibu dan Ayah sudah lama menjalankan pola makan
sehat.
Saat sudah matang, aku menata meja makan. Aku melihat kursi yang biasa
jadi tempat duduk Ibu, setitik air menetes, aku merindukannya sekarang.
“Silakan dicoba, Yah. Mungkin tidak sama persis seperti buatan Ibu,”
kataku. Aku gugup, seperti sedang mengikuti kontes memasak saat juri mencicipi.
Ayah tidak bicara apapun, dia tidak bilang enak atau hambar, atau
asin. Dia hanya mengambil nasi, kemudian makan seperti biasa. Aku heran, saat
Ibu masih ada, Ayah akan mengomentari setiap detail masakannya. Nasinya lembek
lah, ikan gorengnya masih mentah lah, gulainya hambar lah. Tapi meski begitu,
tidak ada sisa dari makanan yang disajikan Ibu.
“Masakanmu enak, Tam. Bahkan lebih enak dari buatan Ibu.” Bang Tio
mengacungkan jempol.
“Kalau nanti Abang bawa istri kesini, ajari masak ya, Tam. Dia sih
bisa masak, tapi hanya masakan luar, ya dari korea, jepang, Amrik, keseringan
nonton di youtube.” Bang Ata menimpali. Aku membalas senyum atas apresiasi
mereka, tapi masih kepikiran dengan Ayah. Kenapa dia diam sekali?
Aku membereskan meja makan, untungnya Tania menawarkan diri membantu, selain
mencuci piring, karena pasti aku juga akan mengulanginya lagi. Sembari aku
berpikir, Ayah untuk urusan makanan biasanya paling cerewet. Dalam sehari, Ayah
selalu meminta tiga menu yang berbeda pada Ibu. Makanya kadang Ibu senang saat
Ayah sedang tidak dirumah, entah berkumpul dengan teman-temannya atau pergi ke
luar kota, dengan begitu Ibu bisa bersantai. Selera Ayah memang terkadang unik,
apa yang menjadi kesukaan kami, belum tentu disukai pula olehnya.
“Yah, nanti malam mau dimasakkin apa?” tanyaku saat Ayah sedang
menonton berita di TV.
“Ikan Nila goreng dengan lalapan terong. Sambalnya jangan pakai yang
di kulkas, sudah tidak enak. Bikin yang baru saja,”mintanya lagi. Aku
mengiyakan. Itu menu biasa, kalau soal sambal jangan meragukan aku.
**
Sudah seminggu, aktivitas keluarga kami normal kembali. Tiga abang
sudah pulang, Tania sibuk dengan jadwal kuliah semester pendek. Nanti siang aku
juga ada jadwal bimbel, dan merapikan administrasi saat kemarin aku selalu
mampi sebentar.
“Yah, Tami ke bimbel dulu ya. Mungkin setelah Ashar baru pulang.
Sebentar lagi Tania pulang, Tami sudah minta dia menghangatkan sup tulang
iga,”pamitku. Ayah mengangguk, dia sedang berjibaku dengan tanaman yang
dipindahkan dari pot.
Motorku melaju pelan, kupikir tidak ada Ibu, kami akan menjalani
kehidupan yang sulit dan tidak nyaman. Nyatanya tidak, Ayah tidak pernah
sekalipun mengomentari masakanku. Ayah juga lebih suka menyiapkan atau
merapikan barang di kamarnya sendiri.
Astaga, kenapa aku bisa lupa? Berkas administrasi calon pengajar di
bimbel ketinggalan di rumah! Segera aku mencari belokan untuk putar balik.
Untungnya belum terlalu jauh. Aku masuk tanpa mengetuk, kulihat di belakang
Ayah sudah tidak nampak, mungkin di kamar. Berkas itu sudah kumasukkan dalam
tas, arah kamarku tepat menghadap kamar Ibu dan Ayah. Pintunya setengah
terbuka, tiba-tiba aku penasaran.
“Aku merindukanmu, Mir. Aku rindu dengan masakanmu..” Ayah berbicara
pada foto Ibu.
“Kau tahu, Tami itu pintar masak, dia lebih baik darimu. Apapun yang
dia sajikan, tidak kurang lebih gula dan garam. Darimana dia punya kelebihan
seperti itu? Pasti dari ibumu.” Ayah terkekeh. Aku merasa saat ini tubuhku
seperti melayang.
“Mir, aku tidak pernah tidak menyukai semua masakanmu. Jika aku selalu
mengomentari ini dan itu, maka aku sebenarnya aku sedang ingin bicara tentang
kita saja. Kau ingat saat awal pernikahan kita, kita tidak banyak bicara,
bahkan hanya terdengar dentingan sendok di meja makan. Kita seperti orang
asing. Entah ide darimana, aku menilai masakanmu. Dan kau mulai membalas
ucapanku. Tapi sejujurnya, dari dulu memang masakanmu tidak berubah. Kalau
tidak terlalu asin, maka terlalu hambar. Kau berpikir aku ini pemarah dan
selalu menuntut kesempurnaan. Kau tidak pernah benar-benar menerima kritikku,
tapi aku senang. Saat anak-anak kita dewasa, kau hanya lebih sering
membicarakan mereka. Bukan aku tidak sayang, tapi kita juga perlu ruang untuk
kita berdua.” Ayah berhenti sebentar, tangannya mengusap sudut matanya. Ayah
menangis?
“Kau mau kuberitahu rahasia besarku? Selama ini aku menjaga harga
dirimu sebagai koki utama di rumah. Karena itulah aku selalu ingin menjadi yang
pertama makan, sebelum anak-anak. Saat kau lengah, aku mencoba memperbaiki
masakanmu. Aku mungkin tidak jago, tapi aku memiliki indera pengecap yang baik.
Apa yang akan kau rasakan jika mereka lebih suka membeli makanan dari luar?
Saat kelak anak-anak kita jauh, bukankah yang paling mereka rindukan adalah
masakan ibunya? Mira, aku tahu betapa kau sakit, jika bisa aku ingin
menggantikanmu. Tapi kau tidak pernah mengeluh, kau yang paling mengenal
perangaiku. Aku akan menjaga diri dan anak cucu kita, bersabarlah, semoga nanti
Allah mengumpulkan kita lagi.”
Aku menutup mulutku yang sudah terisak. Bagaimana mungkin kemarin aku,
juga yang lain berpikir bahwa Ayah tidak peduli? Dia hanya sulit
menunjukkannya. Bodohnya aku, kenapa pula aku sampai berprasangka bahwa mungkin
Ayah akan menikah lagi? Sementara saat ini dia sedang menanti waktu untuk bisa
bersama kekasihnya lagi? Dalam tangis, aku juga geli. Kami selalu mengira bahwa
Ibu koki yang jempolan, mewarisi darah Nenek yang bisa menciptakan menu masakan
enak. Rupanya ada campur tangan Ayah di dalamnya. Ah, bagaimana Ibu bisa
beruntung mendapatkan seseorang seperti Ayah?
****
No comments:
Post a Comment