Forum Lingkar Pena (FLP) Adalah Sebuah Wadah Komunitas Para Penulis. Di Sini Para Penulis Berkumpul, Saling Berbagi dan Menebar Semangat.

Tato Yang Terlihat

 






Tato Yang Terlihat

 

Kedai bakso favorit kami sedang penuh, kuedarkan pandangan mencari meja kosong dengan empat kursi.

 

“Di ujung kosong, Bund. Yuk sebelum ditempati orang lain,” ajakku dengan cepat. Hani, istriku agak kerepotan melangkah karna menggendong Bima, putraku yang baru berusia 2 tahun. Aku sendiri menggandeng Arya, anakku yang usianya 5 tahun.

 

Akhirnya, aku menarik napas lega. Sebenarnya ini meja keluarga besar, ada enam kursi. Setelah memesan, kami menunggu seraya melihat sekeliling. Ini akhir pekan, wajar tempatnya ramai. Untungnya tidak perlu waktu lama, pesanan bakso dan mie ayam kami tiba.

 

“Bunda makan aja duluan, biar Ayah yang papah Bima,” usulku. Kasihan, Hani pasti tidak terlalu bisa menikmati makanannya jika sembari menjaga Bima.

“Bima lagi rewel, Yah. Biar bunda tenangin dulu. Ayah duluan aja, ga’ papa kok,” jawabnya.

 

Aku mengangguk, biar kupercepat makanku agar bakso Hani tetap terasa hangat pas dimakan. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang mendekati meja kami.

 

“Mas, permisi. Boleh ikut duduk? Semua meja sudah penuh, hehe...,” pintanya. Kutatap pemuda itu, istriku melirik sekilas lalu menatapku cemas. Sebenarnya bukan kami keberatan, toh masih ada kursi kosong dan meja kami besar, tapi orang ini....setengah tangannya penuh dengan tato hitam, agak sedikit menakutkan. Tapi sikapnya sopan, jika aku menolak, tidak enak, dia mungkin mengira kami orang yang sombong.

 

“Silakan Mas,” kataku akhirnya. Hani mencubit kecil pahaku, aku mendengus sakit. Kuberikan isyarat dengan kedipan.

Setelah memesan, pemuda itu melihat ke arah Hani, aku jadi waswas.  Jangan-jangan dia berniat buruk.

“Bu, anaknya rewel ya? Boleh saya gendong ga’? tanyanya. Hani terkesiap, tangannya refleks memegang erat Bima.

“Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud jahat. Saya Cuma mau bantu gendong, biar Ibu bisa leluasa makan, nanti baksonya dingin ga’ enak,” tawarnya lagi.

 

Aku dan Hani saling berpandangan. Aku sebenarnya juga belum menyantap baksonya, dari tadi membujuk Arya agar berhenti main hape dan makan. Kulihat mimik pemuda ini tulus, lagipula di sini banyak orang, tidak mungkin dia bisa bebas berbuat jahat.

Akhirnya Bima berpindah tangan. Ternyata pemuda ini cakap juga, Bima langsung diam dan malah ikut tertawa saat diajak bercanda. Arya juga baru mulai makan saat pemuda itu bilang akan memberitahunya permainan yang lebih seru dari hape.

 

“Dek, baca bismillah dulu sebelum makan.” Pemuda itu menegur Arya yang langsung ingin menyuap baksonya.

Bismillah. Aneh, biasanya Arya ini susah diingatkan adab saat makan.

“Makanannya jangan ditiup, kalo masih panas, dikipasin aja. Sini Abang bantu, ya.” Tangan si pemuda aktif mengipasi dengan lembaran menu yang dilaminating.

 

Aku speechless. Baru kali ini bertemu dengan orang bertato tapi punya adab dan sopan santun. Aku merasa bersalah karna sempat berprasangka buruk padanya.

Tepat saat Hani selesai menikmati mie ayamnya, pesanan pemuda itu datang. Bima yang sudah tenang kembali ke pelukan ibunya.

 

Bismillah. Pelan pemuda itu mengucapkannya, tapi aku merasa merinding. Rasa kagum itu akhirnya pecah juga. Kalau saja tidak ada tindikan di telinga dan tato yang nyaris menutupi tangannya, pemuda ini pasti lebih kharismatik.

 

“Maaf ya Pak, Bu. Penampilan saya agak seram. Biasa, anak muda mencari cinta, eh jati diri. Sempat salah arah, tapi akhirnya masih ingat jalan pulang,” candanya. Kami menanggapinya dengan senyum yang lebih ramah. Tidak seperti awal tadi, terpaksa.

Tidak perlu waktu lama baginya menghabiskan satu mangkok bakso. Aku masih menunggui Arya. Setelah minta maaf karna ikut bergabung di meja kami, pemuda itu berlalu.

 

Kami bersiap pergi, setelah cukup lama untuk Arya menghabiskan makanannya.

“Berapa semuanya, Mas?”  Aku menyebutkan nomor meja.

“Oh meja itu sudah dibayar, Pak.” Aku kaget.

“Loh, siapa yang bayarin ya?” tanyaku penasaran.

“Mas yang duduk sama Bapak Ibu tadi.” Aku dan istriku saling pandang, bingung.

“Makanya Bund, lain kali kalo kita ketemu orang kayak gitu lagi, jangan langsung judes ya. Cuman tato-nya yang terlihat, tapi hatinya baik.” Istriku mengangguk, ini benar-benar pelajaran bagi kami, kuharap suatu hari bisa bertemu dengannya lagi, aku ingin belajar tulus darinya.

 

~~ TAMAT ~~

 

Oleh Raida 

Share:

No comments:

Post a Comment

Most Recent

3/recent/post-list

Popular Posts

Labels

Recent Posts

Kata Kata Bijak

  • Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.
  • Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
  • Pramoedya Ananta Toer

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.